The story of a caterpillar and how the state preys on its people

---

This story began when I went out of the house to go to the coffee shop but decided not to when I met a caterpillar that I saw busy crawling in a flower pot. I thought its speed of crawling beat the speed of all the snails in the world, so I secretly observed it. Referring to its color, I was sure this caterpillar would turn into a beautiful butterfly later. But on the condition that it survives the pecking of caterpillar-eating birds or lizards or whatever other predators make caterpillars their favorite food.

With the lens of my gadget's camera, I observed the behavior of this caterpillar until I concluded that it was in a hurry and busy looking for a way to get to the trunk of the Chinese banyan bonsai growing in the pot. The caterpillar didn't even pay any attention even though I pointed the camera's right at its face several times. It remained busy crawling around the rim of the pot, and even though it had done it for several rounds the caterpillar did not show any signs of despair. Several times the caterpillar tried to stick it feelers into a leaf near the edge of the pot, and it didn't work at all.

I tried to help the caterpillar by bending the leaf so that he could reach it, and the caterpillar did not waste the opportunity. It immediately climbed onto the leaf. Then after looking around for a while as if to make sure that he was really in the place he wanted. The caterpillar rushed to climb the leaf above him again, then followed the branches until it reached the bonsai trunk. It only stopped climbing after finding a larger branch, and right between the base of the branch and the bonsai trunk, it curled up quietly. The caterpillar movement ended here. I waited for two minutes and it did not move at all, except for the strands of it fur that waved in the wind.

The caterpillar had found a place that he felt was suitable, safe, and comfortable for hibernation. That's what I thought. But I still sat watching it who had now become one with the bonsai trunk and then remembered my previous thoughts. What if it was preyed on first before becoming a butterfly? But who would it prey on? A lizard? A bird? So what if this business of preying on prey is related to the actions of us who are faced with the same facts every day?

Haven't we been constantly confronted with news lately about so-and-so preying on so-and-so, so-and-so being preyed on by so-and-so, and so on? It occurred to me, about the government regime that in the last few periods tends to like to prey on the little people. The policy makers collectively design a trap so that their people can be easily preyed upon.

It can be in the form of a trap of laws, regulations, which ends when the people fight back they casually carry out criminalization. The pretext of law enforcement only applies to ordinary criminals, while corrupt officials, murderous police, murderous military, drug cartels, high-class criminals who have been clearly proven to have committed crimes are allowed to straddle the line. Or there are also some of them who even get strategic positions in government. Or even if there are some of those great people who are punished, the punishment given to them is much lighter than the punishment given to an ordinary criminal who is forced to steal to be able to buy food for his wife and children.

At this point, I realized how the law in this country is increasingly distancing itself from its three basic principles. Legal certainty only applies to prey on its people, while the principles of justice and usefulness are simply ignored and from year to year the people seem to be left to live in layers of suffering. It's so sad.

---

Bahasa

Ceritanya kemarin sore. Aku keluar rumah hendak ke kedai kopi tapi urung ketika berpapasan dengan seekor ulat yang kulihat sibuk beringsut di pot bunga. Kukira kecepatan ingsutannya itu mengalahkan kecepatan seluruh siput di dunia, oleh karenanyalah diam-diam aku mengamatinya. Merujuk warnanya, aku yakin ulat ini akan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik nantinya. Tapi dengan syarat ia selamat dari patukan burung-burung pemakan ulat atau kadal atau apalah pemangsa lainnya yang menjadikan ulat sebagai makanan favorit mereka.

Dengan lensa kamera gawai, aku mengamati petingkah ulat ini hingga menyimpulkan bahwa ia sedang buru-buru dan sibuk mencari-cari cara agar bisa sampai di batang bonsai beringin china yang tumbuh dalam pot. Si ulat bahkan sama sekali tak menggubris meski aku beberapa kali mengarahkan mata kamera gawai tepat di mukanya. Ia tetap sibuk melatai lingkar bibir pot, dan walaupun telah melakukannya dalam beberapa putaran si ulat sama sekali tak menunjukkan sikap putus asa. Beberapa kali ia mencoba menjulurkan sungutnya ke sehelai daun yang dekat dengan pinggir pot, dan itu tak berhasil sama sekali.

Aku mencoba membantunya dengan menekukkan helai daun itu hingga bisa dicapai olehnya, dan si ulat tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia dengan segera naik ke atas helai daun. Kemudian setelah celingukan sebentar seperti hendak memastikan bahwa ia sudah benar-benar berada di tempat yang diinginkannya. Si ulat bergegas memanjat daun di atasnya lagi, lalu menyusuri dahannya hingga mencapai batang bonsai. Ia baru berhenti memanjat setelah menemukan satu dahan yang lebih besar, dan tepat di antara pangkal dahan dan batang bonsai, ia meringkuk diam. Ingsutannya usai di sini. Dua menitan aku menungguinya ia tak bergerak sama sekali, kecuali helai-helai bulunya yang melambai-lambai diterpa angin.

Si ulat sudah mendapat tempat yang dirasanya cocok, aman, dan nyaman untuk hibernasi. Begitu pikirku. Tapi aku masih saja duduk mengamatinya yang kini telah menyatu dengan batang bonsai lalu teringat kembali dengan pikiranku sebelumnya. Bagaimana kalau ia keduluan kena mangsa sebelum jadi kupu-kupu? Tapi di mangsa oleh siapa? Oleh kadalkah? Burungkah? Lalu bagaimana jika urusan mangsa memangsa ini dikaitkan dengan petingkah kita yang sehari-harinya dihadapkan dengan fakta yang sama pula.

Bukankah akhir-akhir ini kita melulu dihadapkan dengan berita-berita si anu memangsa si itu, si ini kena mangsa oleh si itu, dan seterusnya, dan seterusnya? Terbetik dalam pikiranku, tentang rezim pemerintahan yang dalam beberapa periode terakhir cenderung suka memangsa orang-orang kecil. Para pemangku kebijakan berjamaah merancang jerat agar rakyatnya bisa dengan mudah dimangsa.

Itu bisa berupa dengan jerat perundang-undang, peraturan ini itu, yang ujung-ujungnya ketika rakyat melawan mereka dengan santainya melakukan kriminalisasi. Dalih penegakan hukum hanya berlaku bagi kriminal biasa, sementara pejabat korup, polisi pembunuh, militer pembunuh, kartel narkoba, penjahat kelas atas yang telah jelas-jelas terbukti melakukan kejahatan malah dibiarkan melenggangkangkung begitu saja. Atau ada juga di antaranya malah mendapat posisi strategis dalam pemerintahan. Atau jika pun ada di antara orang-orang besar itu yang dihukum, hukuman yang dijatuhkan pada mereka jauh lebih ringan ketimbang hukuman yang divonis kepada seorang kriminal yang terpaksa harus mencuri untuk bisa membeli makan anak istrinya.

Sampai di sini, aku jadi sadar bagaimana hukum di negara ini kian menjauhkan diri dari tiga asas dasarnya. Kepastian hukum hanya berlaku untuk memangsa rakyatnya saja, sementara asas keadilan dan kebermanfaatan terabaikan begitu saja dan dari tahun ke tahun rakyat seperti dibiarkan hidup dalam penderitaan berlapis. Miris sekali.

---

Translation by Google Translate | All photos are mine, taken by Redmi Note12 Pro