The Misty-Eyed People: An Excerpt from a Novel |



HERE I am finally. Mixing with people who have different reasons to take up arms, to fight. Making things difficult with limited situations, limited opportunities, limited food and drink, a social life that is so far away, but with death so close.

On the surface, we have the same reasons, fighting for the same thing; freedom. Freedom politically, economically, and in terms of status. That is our selling point. But deep down, I know we have different reasons.

The first months with them, I was still adjusting, both emotionally and physically. It was very difficult for me to immediately blend in because I had never mixed with any community other than hanging out with my school friends.

But strong determination can crush rocks and move mountains, let alone just adapt to difficult conditions. Humans are given the strength to overcome any hardship, including living alone like I am experiencing now.

Three months together, I have been able to sort out the reasons why each person is in the middle of this forest, among the big trees and bushes that provide various difficulties as well as conveniences - depending on how they use them. Their motives and backgrounds are my first notes.

I wrote about Zulfikar Rasyid, the person we call the Leader. Remember, Leader with a capital "P". He is a tall, sturdy man with brown skin, thin, almost bald hair, muscular hands with prominent veins, but not as muscular as guerrillas often depicted in action films.

Don't imagine Rambo, the Leader is far from that. He tends to be thin. In fact, most of the men in our group are thin. Maybe the influence of limited food and nutrition makes it difficult for muscles to develop. However, with a body type like that, we move agilely when avoiding enemy pursuit like a deer running away from a hunter.

Why and how Zulfikar became the Leader, I have no idea at all. What I can note is that the man has a strong charm. Charismatic. His words are always heard, his orders are always obeyed. He became an important part of this movement because of his calling, at least that's what people around me said. He was purely fighting for freedom. Freedom politically, economically, and for status!

However, his life was too luxurious for a guerrilla. The clothes and pants that covered his body were always branded, unlike other guerrillas who were dressed shabbily. So was the scent of Bvlgari that emanated from his body.

Bvlgari?

That's it. At first I was also surprised that a guerrilla leader was wearing branded perfume. A guerrilla should be thick with the smell of sweat, the smell of mud, or the scent of blood after fighting, not the scent of perfume. We are rebels, as foreign mass media often mention. We are not fashion models, who must appear in branded clothes and perfume that costs enough to feed us for a month.

I often asked myself, why did he have to spray his body with perfume. Wouldn't that make our tracks easy to smell for the enemy in the middle of the jungle? Enemy soldiers have a sharp sense of smell. It's like smelling cigarettes during the fasting month. Even a puff of smoke 20 meters away can still be smelled.

I once asked my colleague. And his answer made me immediately speechless in disbelief. "The perfume has been enchanted. In fact, its aroma deceives the enemy. And..." he moved his mouth close to my ear until the stench of his mouth reached my nose, ...."The leader is immune to the perfume. But don't tell anyone. I could be shot if they find out about this to you..."

I, who since childhood had been taught to believe in supernatural things such as believing in the Day of Judgment, could not believe that perfume could deceive the enemy. Moreover, it could provide immunity.

Maybe what is meant is immunity from unpleasant odors. If that is not necessary to debate anymore. But if immunity from bullets, wait a minute. Bvlgari perfume will be more expensive than luxury cars and tons of perfume will be sent to the battlefield to replace bulletproof vests.

The fragrant aroma will replace the fishy smell of blood on all battlefields. Even though it is unable to relieve the sadness of those left behind, dying on a fragrant battlefield is more desirable for all soldiers than dying on a battlefield full of odorous blood.[]






#Orang-Orang Bermata Kabut

DI SINILAH aku akhirnya. Berbaur dengan orang-orang yang mempunyai alasan berbeda untuk mengangkat senjata, untuk berjuang. Menyulitkan diri dengan situasi yang serba terbatas, kesempatan yang terbatas, makan dan minuman terbatas, kehidupan sosial yang begitu jauh, tapi dengan kematian yang begitu dekat.

Di permukaan, kami punya alasan sama, memperjuangkan hal yang sama; kemerdekaan. Kebebasan secara politis, ekonomis, dan status. Itulah jualan kami. Tapi dalam hati, aku tahu kami punya alasan berbeda.

Bulan-bulan pertama bersama mereka, aku masih menyesuaikan diri, baik secara emosi maupun fisik. Sangat sulit bagiku untuk segera meleburkan diri karena aku tidak pernah berbaur dengan komunitas apa pun selain bergaul dengan teman-teman sekolah.

Tapi tekad kuat bisa menghancurkan batu dan bisa memindahkan gunung, apalagi sekadar menyesuaikan diri dengan kondisi sulit. Manusia diberi kekuatan melewati kesulitan seberat apa pun, termasuk hidup seorang diri seperti yang kualami saat ini.

Tiga bulan bersama, aku sudah bisa memilah-milah alasan setiap orang berada di tengah hutan ini, di antara pepohonan besar dan semak belukar yang memberikan berbagai kesukaran sekaligus juga kemudahan – tergantung bagaimana memanfaatkannya. Motif dan latar belakang mereka adalah catatan pertamaku.

Aku menulis tentang Zulfikar Rasyid, orang yang kami panggil sebagai Pemimpin. Ingat, Pemimpin dengan “P” besar. Dia adalah seorang laki-laki gagah dengan postur tinggi, berkulit coklat, rambut tipis nyaris botak, tangan berotot dengan urat menonjol, tetapi tidak kekar sebagaimana gerilyawan yang sering digambarkan dalam film laga.

Jangan bayangkan Rambo, Pemimpin jauh dari itu. Dia cenderung kurus. Bahkan, sebagian besar lelaki dalam kelompok kami berbadan kurus. Mungkin pengaruh makanan dan nutrisi terbatas yang membuat otot sulit berkembang. Namun dengan tipe tubuh seperti itu kami lincah bergerak saat menghindari kejaran musuh seperti seekor kijang yang kabur dari kejaran pemburu.

Mengapa dan bagaimana Zulfikar menjadi Pemimpin, aku sama sekali tidak tahu. Yang bisa aku catat bahwa lelaki itu punya pesona yang kuat. Kharismatik. Kata-katanya selalu didengar, perintahnya selalu dipatuhi. Dia menjadi bagian penting dari gerakan ini karena panggilan jiwa, setidaknya begitulah yang dikatakan orang-orang di sekitarku. Dia murni memperjuangkan kebebasan. Kebebasan secara politis, ekonomis, dan status!

Namun, kehidupannya terlalu mewah untuk seorang gerilyawan. Baju dan celana yang membalut tubuhnya selalu bermerek, berbeda dengan gerilyawan lainnya yang berpakaian kumal. Begitu juga dengan aroma Bvlgari yang menguar dari tubuhnya.

Bvlgari?

Begitulah. Awalnya aku juga kaget seorang pimpinan gerilyawan memakai minyak wangi bermerek. Seorang gerilyawan seharusnya kental dengan bau keringat, bau lumpur, atau aroma darah seusai bertempur, bukan aroma parfum. Kami adalah pemberontak, seperti yang kerap disebutkan media massa asing. Kami bukan peragawan, yang harus tampil dengan baju bermerek dan minyak wangi yang harganya cukup untuk makan kami selama sebulan.

Aku sering bertanya dalam hati, mengapa ia harus menyemprotkan tubuhnya dengan minyak wangi. Bukankah itu malah membuat jejak kami gampang tercium musuh di tengah hutan belantara? Tentara musuh mempunyai penciuman yang tajam. Ini seperti mencium aroma rokok di bulan puasa. Sehembusan asap sejauh 20 meter pun masih bisa terendus.

Pernah kutanyakan pada rekanku. Dan jawabannya membuatku langsung terdiam tak percaya. “Minyak wangi itu sudah dimantrai. Justru aromanya mengelabui musuh. Dan…” ia mendekatkan mulutnya ke telingaku hingga bau busuk mulutnya tercium hidungku, ….”Pemimpin kebal dengan minyak wangi itu. Tapi jangan ceritakan kepada siapa pun. Aku bisa ditembak kalau mereka tahu mengabarkan ini padamu…”

Aku yang sejak kecil sudah diajari untuk meyakini hal-hal gaib seperti percaya kepada hari kiamat, tidak bisa percaya bahwa minyak wangi bisa mengelabui musuh. Konon lagi bisa memberi kekebalan.

Mungkin yang dimaksud kekebalan dari bau tak sedap. Kalau itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Tapi kalau kebal dari peluru, tunggu dulu. Parfum Bvlgari akan lebih mahal dari mobil mewah dan berton-ton minyak wangi akan dikirim ke medan perang untuk menggantikan rompi antipeluru.

Aroma harum semerbak akan menggantikan bau amis darah di semua medan perang. Meski tidak mampu mencairkan kesedihan bagi orang yang ditinggalkannya, tetapi kematian di medan perang yang wangi akan lebih diharapkan semua prajurit daripada mati di medan perang yang penuh amis darah.[]





0
0
0.000
0 comments